Friday, February 9, 2007

KUMPULAN ARTIKEL



Pendekatan Konservasi Tumbuhan dengan Teknik Molekuler Elektroforesis
Oleh : Sudarmono



1. Pendahuluan

Tahun 2002-2003 mungkin tahun dimana Pemerintah Indonesia ibarat `makan buah simalakama` dalam hal penentuan izin penambangan di kawasan Hutan Lindung [5]; [6], bagaimana tidak apabila Pemerintah tidak mengijinkan 22 perusahaan pertambangan maka Pemerintah dinilai melanggar kontrak yang dilakukan sebelum turun UU No. 41 th 1999. Namun pada penjelasan Pasal 38 dalam hal pelarangan pertambangan terbuka dikawasan hutan lindung dimungkinkan dapat dilakukan dengan ketentuan khusus secara selektif. Kata `selektif` mungkin bisa ditafsirkan secara subyektif seperti `analisa kami` atau `menurut kami`. Untuk mengatasi psywar atas conflict of interest mengatasi masalah penambangan di wilayah Hutan Lindung maka perlu adanya independensi ilmu pengetahuan melalui investigasi aspek kuantitatif-kualitatif banyaknya kandungan tambang dan banyaknya kandungan unsur mahluk hidup langka yang dilindungi. Untuk itu era saat ini perkembangan teknologi dan teori dasar statistik sangat cepat dan beraneka ragam teknik analisa yang ditawarkan baik yang sifatnya gratis atau bayar dengan kartu kredit via internet-internet. Selain itu berkaitan dengan kemajuan teknologi maka analisa terhadap tumbuhan lebih cenderung melalui pendekatan unsur genetik (kualitatif) daripada analisa deskriptif (berbentuk daftar tumbuhan, hewan atau mikroorganisme) yang sewaktu-waktu berubah. Sifat kualitatif memungkinkan organisme yang kecil sekalipun seperti lumut, plankton, dll terdeteksi endemik atau langka atau akan punah. Oleh karena itu pendekatan penelitian seperti Isozim Elektroforesis [14], kromosom (faktor keturunan di dalam sel mahluk hidup), dan DNA (urutan genetik dalam kromosom), mutlak diperlukan. Perkembangan dunia molekuler pada tumbuhan semakin cepat seiring dengan cepatnya tingkat kepunahannya, sehingga di negara seperti Amerika, Jepang dan Inggris sudah mengembangkan database DNA. Begitu juga dengan pengembangan bank benih dan bank gen.
Analisa kromosom meskipun termasuk dasar dari analisa organisme sudah jauh berkembang kearah analisa mikrosatelit dan poliploidi bahkan genome in situ hybridization (GISH). Akhirnya dunia molekuler modern berkembang ke sektor enzim, protein, dan DNA (deoxyribose nucleic acid) atau RNA (ribose nucleic acid) tergantung pada tujuan dan sasaran yang ingin dicapainya.

2. Prinsip Dasar Penelitian Molekuler Modern

Apabila berbicara tentang modern tidak lepas dari alat canggih dan mahal, sehingga untuk Indonesia yang sedang tertimpa berbagai masalah seperti bencana alam, flu burung, banjir, kemiskinan, dll menjadikan penelitian sebagai kendala utama. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah efisiensi dan efektifitasnya untuk jangka panjang. Sekedar perbandingan bisa dilihat pada Tabel.
Metode Penelitian Biaya **) Tingkat keberhasilan Sampel per hari* Analisa tingkat polimorfis* Ketrampilan* Bahan kimia berbahaya
Kromosom murah tinggi 25 - rendah Tdk ada
Enzim/ protein sedang tinggi 50 tinggi menengah Ada
ISSR/microsatelit-DNA sedang tinggi 50 tinggi Rendah- menengah Ada
RAPD-DNA Cukup mahal rendah 50 menengah rendah Ada
RFLP-DNA Cukup mahal tinggi 20 Rendah- menengah rendah Ada
AFLP-DNA Cukup mahal medium 50 menengah menengah Ada
SSCP-DNA Cukup mahal tinggi 25 tinggi menengah Ada
Sekuens-DNA Mahal sekali tinggi 20 menengah tinggi Ada

Tabel 1. Perbandingan metode penelitian untuk biosistematik tumbuhan


Sumber: Pengamatan pribadi dan *[4]; **) alat dan bahan kimia

Analisa molekuler secara modern yaitu pemaparan bahan genetik menggunakan alat yang dikenal sebagai Elektroforesis dan ini membutuhkan kemampuan listrik dan pendingin yang memadai. Selain itu faktor bahan kimia yang dibutuhkan dan alat-alat yang dipakai beragam. Prinsip dasar elektroforesis yaitu bahwa setiap genom tumbuhan (enzim/protein dan DNA) mempunyai berat yang berbeda-beda sehingga kecepatan bergeraknya pada media gel juga berbeda-beda dan hal ini hanya dapat dilihat melalui pewarnaan (trouble shooting).

Sebelum elektroforesis bahan ekstrak (biasanya daun muda bisa juga serbuk sari, rimpang atau spesimen kering herbarium) musti yang segar meskipun bisa tahan 1 minggu sampai 4 bulan bila disimpan pada suhu -40oC. Kemudian diteteskan pada wick gel untuk elektroforesis vertikal dan dengan kertas filter pada elektroforesis horisontal. Alat elektroforesis untuk enzim/protein biasa dibikin sendiri dengan fiberglas, Sistem elektroforesis yaitu penggunaan arus listrik dari arus negatif ke arus positif melalui media gel untuk menggerakkan bahan genetik (running). Namun pendeteksian alel enzim (bagian dari kromosom yang menentukan warna, bulu, rasa, dll) individu tumbuhan tidak hanya sampai running saja masih perlu dinampakkan dengan pewarna (staining). Pada isozim melalui pewarna bahan kimia sistem enzim yang terdaftar pada Sistem Penamaan Biokimia International (Enzyme Comission atau EC). Mengingat bahwa bahan pewarna terdiri dari bermacam-macam bahan kimia maka pemakaiannya juga disesuaikan dengan kemampuan laboratorium yang ada. Selain itu juga tingkat kesesuaian spesies tumbuhan tersebut, karena pada setiap spesies terkadang berbeda-beda kecocokannya (muncul tidaknya pita alel). Apabila pita alel tampak jelas maka analisa kuantitatif menjadi mudah karena alel akan mudah terbaca (lihat Gambar 1).

Untuk ekstraksi isolasi DNA berbeda dengan enzim dimana saat pemurnian DNA kondisi alat dan bahan diusahakan steril dan lingkungan tempat kerja serta sarung tangan tidak boleh terkontaminasi. Selain itu pada DNA memerlukan PCR (Polymerase Chain Reaction) sebelum elekroforesis yang berperan dalam penggabungan pasangan DNA dengan bantuan primer dan enzim bakteri pada suhu tertentu. Harganya cukup mahal, akan tetapi dengan adanya PCR maka analisa ikatan tunggal DNA bisa dilakukan dengan metode ISSR (inter-simple sequence repeat) atau mikrosatelit, RAPD (random amplified polimorphic DNA), RFLP (restriction fragment length polymorphism), dan AFLP (amplified fragment length polymorphism). Perkembangan biologi molekuler modern belakangan ini, memungkinkan para ahli taksonomi memanfaatkan data DNA sebagai "penanda molekuler" yang cukup signifikan. Dengan ISSR/mikrosatelit, RAPD, RLFP, sebagian kecil fragmen DNA dari genom tumbuhan dapat diamplifikasikan untuk mendapatkan sejumlah besar fragmen DNA, sehingga dengan teknik elektroforesis pada gel agaros pemunculan fragmen DNA tersebut dapat dideteksi secara konsisten dan menjadi data yang dapat digunakan untuk kerja pada taksonomi tumbuhan tinggi.



Gambar 1. Tingginya heterozigositi pada dimerik sistim enzim AAT populasi Salvia japonica di Kisaichi. Arah arus listrik dari atas (-/katoda) ke bawah (+/anoda). Alel hitam (AA, AB, BB) sebagai lokus Aat-1 dan alel putih (AA, BB, CC, BC) sebagai lokus Aat-2. (Dokumentasi pribadi, 2004)





Gambar 2. Pita tetra (4 pita) pewarnaan perak nuclearDNA-SSCP dengan primer ITS320F/556R pada gel dg Gliserol 10 %, 300 volt selama 4 jam pada 8 spesies Salvia (Lamiaceae). Gerakan arus listrik dari atas (negative) ke bawah (positif). (Dokumentasi pribadi, 2006)


Perkembangan biologi molekuler modern belakangan ini, memungkinkan para ahli taksonomi memanfaatkan data DNA sebagai "penanda molekuler" yang cukup signifikan. Dengan ISSR/mikrosatelit, RAPD, RLFP, sebagian kecil fragmen DNA dari genom tumbuhan dapat diamplifikasikan untuk mendapatkan sejumlah besar fragmen DNA, sehingga dengan teknik elektroforesis pada gel agaros pemunculan fragmen DNA tersebut dapat dideteksi secara konsisten dan menjadi data yang dapat digunakan untuk kerja pada taksonomi tumbuhan tinggi.

Metode SSCP pada prinsipnya sama dengan ikatan ganda pada Filogeni bedanya pada SSCP “separuh jalan” atau hanya 1 kali PCR pada panjang DNA sekitar 200-300 basa nukleotid dan selanjutnya dirunning (selama 3 sampai 10 jam tergantung tumbuhannya) secara vertikal dengan gel poliakrilamid kemudian baru diwarnai dengan pewarna perak (lihat Gambar 2). Namun untuk metode filogeni memerlukan alat sekuens yang mahal sekali sehingga bisa menganalisa ikatan DNA secara urutan pada ikatan Adenin (A) dengan Timin (T) dan Guanin (G) dengan C (Citosin) pada setiap mahluk hidup.

3. Beberapa Metode Penelitian dengan Elektroforesis, Teknik dan Tujuannya

Akhir-akhir ini sudah berkembang berbagai macam metode penelitian atau penanda (marker) genetik sesuai dengan perkembangan teknologi modern. Beberapa metode penelitian untuk dunia tumbuhan sebagian besar mencoba untuk memaparkan bahan genetik seperti enzim/protein, dan DNA/RNA. Metode penelitian terhadap enzim (istilah lain isozim) atau protein dapat dilakukan dengan alat elektroforesis horizontal ataupun vertikal yang bergerak dari arus negatif (katoda) ke positif (anoda). Karena bahan genetik tersebut sensitif terhadap panas listrik maka pada saat running harus didalam pendingin (antara 4 sampai 20C), biasanya memakan waktu 3-4 jam (250-300 volt). Untuk selanjutnya apabila menggunakan elektroforesis horizontal maka gel tepung setebal 1 cm dipotong lembaran menjadi 6 lembar (6 sistem enzim) dan di’warnai’ sehingga muncul pita sesuai denga sistem enzim yang dipakai. Prinsip pewarnaan ini sama pada elektroforesis vertikal hanya bedanya bahan kimia gelnya berbahaya terhadap tubuh karena bersifat karsinogen atau penyebab kanker (poliakrilamid). Penelitian enzim umumnya dilakukan terhadap populasi suatu tumbuhan dimana sampel yang diperlukan antara 7-50 sampel tiap populasi tergantung luasnya populasi. Oleh karena itu tujuan penelitian ini secara spesifik untuk menganalisa terjadinya perubahan variasi genetik, keragaman genetik, struktur genetik, arus gen (gene flow), bahkan hibrid antar populasi. Implikasi penelitian enzim dapat juga mengarah pada makin punahnya suatu populasi [2] atau terjadinya perkawinan antar populasi sehingga terbentuk hibrid baru [19]; [1].

Metode penelitian elektroforesis yang lainnya umumnya untuk mendeteksi DNA seperti analisa sidikjari (fingerprinting) yaitu ISSR atau mikrosatelit, RAPD, RFLP dan AFLP. Namun untuk mendeteksi adanya pita DNA musti mengikatkan DNA ikatan tunggal dengan sejumlah primer (umumnya 20 basa nukleotid ‘pemancing’ pasangan basa sampel penelitian; biasanya perusahaan bahan genetik menerima pesanan primer ini). Primer tersebut belum tentu dapat sesuai dengan sampel tumbuhan yang diteliti sehingga perlu adanya coba-coba (trial by error) yang tentunya memakan biaya dan waktu. Akhir-akhir ini yang sering dipakai yaitu ISSR/mikrosatelit dan AFLP, karena hasil dan analisa polimorfisnya (pita DNA) jelas (Tabel). Selain itu suhu dalam PCR pada saat proses pengikatan (ada 3 tahap yaitu pemecahan, pengikatan dan pemanjangan) harus sesuai. Selanjutnya dirunning pada gel agaros (elektroforesis mini kapasitas 25 sampel pada 100 volt) selama 20-40 menit. Untuk mengetahui pita genetiknya sebelum difoto dengan alat fotografi UV (ultra violet) maka gel harus direndam terlebih dahulu pada isotop ethidium bromide (EtBr). Umumnya penggunaan metode ini untuk mengetahui adanya penyimpangan genetik, hubungan dekat secara genetik, ataupun variasi genetik yang ada. Memang hampir mirip dengan penelitian enzim hanya disini untuk setiap populasi biasanya 2-5 sampel saja.

SSCP (single strand conformation polymorphism) masih berkembang dan ternyata sebagai metode yang dapat mendeteksi mutasi gen [7], hybrid, ataupun penyimpangan gen lainnya dengan hasil pita jelas dan tajam. Hampir sama dengan tekhik running dengan PCR diatas namun dilanjutkan dengan pemaparan menggunakan alat yang mirip elektroforesis pada enzim (vertikal) sehingga ikatan tunggal pada primer terpilih akan menampakkan pita tunggal (daerah DNA kloroplas RbcL), pita ganda (daerah DNA kloroplas antara TrnL-TrnF), ataupun pita tetra (Gambar 2) pada daerah DNA nuclear ITS (Pengamatan pribadi, 2006). Analisa terhadap SSCP mudah apabila hanya penampakan visual saja, akan tetapi [17] telah mencoba untuk mengetahui wilayah hibrid antara spesies Pinus (Pinaceae) dengan menggunakan rumus indeks hibrid sehingga bisa diketahui tinggi rendahnya kandungan DNA pewaris Ibu dan pewaris induk. Sekuens Filogeni-DNA menggunakan ikatan ganda (double stranded) DNA sehingga penggunaan PCR dua kali dan penampakan DNAnya akan terlihat melalui komputer yang dihubungkan dengan alat sekuens DNA atau Sequencer ABI Prism (Gambar 3). Untuk mengolah data lebih lanjut maka perlu adanya perangkal lunak (software) yang dapat di download gratis melalui internet seperti BioEdit, ChromasPro, dll., yang umum dipakai McClade, dan selanjutnya menggunakan Program PAUP, MrBayes, Mega, atau Treeview, dll. Hasil akhir berupa bentuk pohon filogeni yang mencerminkan keterkaitan sampel (takson) satu sama lain, apakah itu hubungan kekerabatan atau adanya kelompok/spesies/marga atau bahkan keluarga (Famili) baru yang terbentuk. Seringnya berimplikasi pada revisi kekerabatan marga atau sub-marga bahkan revisi total nama marga [16] atau nama keluarga.



Gambar 3. Penampakan sebagian (no. 265-289 basa nukleotid) hasil sekuens DNA Salvia pygmaea (Lamiaceae) pada komputer dimana C=cytosine warna Biru, G=guanine warna hitam, A=adenine warna hijau, dan T=thymine warna merah (Dokumentasi pribadi, 2006)


4. Prospek di Masa Datang

Akhir-akhir ini para peneliti sistematik tumbuhan menerapkan pendekaan beberapa metode elektroforesis untuk mendeteksi tingkat kepunahan suatu tumbuhan bahkan mampu memprediksikan suatu kejadian pengecilan/penyusutan populasi [8] atau pengucilan/isolasi geografi [7] bahkan terjadinya suatu spesies atau marga tumbuhan baru. Hasil analisa dari dua metode atau lebih bisa lebih valid, selain itu juga efisien dengan alat elektroforesis yang sama. Prospek elektroforesis di Indonesia baru pada tahap enzim namun kini beberapa Lembaga.

Penelitian seperti Puslit Zoologi (LIPI), BPPT, Lembaga Eijkman, mungkin juga beberapa Universitas besar sudah memiliki Sequencer-DNA. Sehingga tidak lama lagi publikasi-publikasi tentang DNA akan bertebaran di jurnal-jurnal. Apalagi Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi unggul dalam hal keragaman genetik sehingga potensi isolasi spesies pada tiap pulau mengarah pada pembentukan genetik baru akan terdeteksi melalui penelitian ini. Asumsi ini sudah jelas dengan ditemukannya garis Wallace yang berkaitan dengan perbedan flora dan fauna antara Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Bali sebagai wilayah Barat dan Sulawesi, Kep. Maluku dan Papua sebagai wilayah Timur. Pembuktian pola kekerabatan genetik antar pulau, spesies, populasi, atau varitas yang ada dimana kemungkinan terjadinya pergeseran genetik (genetic drift), mutasi atau perkawinan silang membentuk hibrid ataupun introgresi dapat ditentukan dengan morfologi dan SSCP [18], morfologi dan RAPD [3], isozim dan filogeni-DNA [12]; kromosom dan DNA [15], dll.

Namun begitu satu aspek penelitian dengan satu fokus famili tumbuhan akan memperdalam pengetahuan kita tentang suatu behaviour (tingkah laku) genetik tumbuhan itu, untuk skala Internasional dibutuhan saat ini. Misalnya di Negara maju seperti Amerika yang pengetahuan molekulernya begitu pesat akan mengenal Soltis dan Soltis sebagai ahli filogeni basal Angiosperm, Jeff Doyle (Fabaceae), Kathleen Pryer (Ferns), dll. [13]. Beberapa peneliti di Indonesia dikenal beberapa nama seperti Johannis Mogea (Palmae), Elizabeth (Bambu), dan Mien Rifai (Jamur).

5. Kesimpulan

Bertambah dan punahnya suatu tumbuhan masih menjadi misteri alam dan ini harus ada bukti secara genetik bukan lagi hanya sekedar daftar atau deskripsi morfologi tumbuhan. Ilmu sistematika tumbuhan berkembang pesat kearah teknologi molekuler modern, beberapa metode analisis genetik tidak lagi sekedar jumlah kromosom namun sudah jauh kearah enzim, protein, alel, DNA dan RNA. Permainan teknologi tidak hanya alat atau mesin teknologi penelitian namun juga analisa data dengan komputer ataupun gabungan keduanya menjadikan penelitian sebagai sesuatu yang sangat mahal. Namun sebenarnya semua itu tergantung pada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai seperti pada penelitian tumbuhan apakah itu suatu penemuan baru ataukah hanya sekedar pengulangan penelitian sebelumnya. Tentunya semua itu tergantung pada peneliti sendiri dan efektifitasnya dari penelitian tersebut. Untuk itu bagi Indonesia yang merupakan nergara terkaya ke-2 dalam hal keragaman genetik di dunia tidaklah sia-sia bila penelitian molekuler modern mulai diterapkan. Bila kerjasama suatu penelitian bisa dilaksanakan antar lembaga penelitian atau Perguruan Tinggi niscaya masalah finansial bukan suatu kendala untuk maju.

Daftar Pustaka

Aparicio, A, R.B. Albaladejo, M. Porras and G. Ceballos. 2000. Isozyme evidence for natural hybridization in Phlomis (Lamiaceae): Hybrid origin of the rare P.x margaritae. Annals of Botany 85: 7-12.
Ellstrand, N.C. and Elam, D.R. 1993. Population genetic consequences of small population size: Implication for plant conservation. Annual Rev. Ecol. Syst.(24): 217-237.
Gonzalez-Rodriguez, A. 2004. Morphological and RAPD analysis of hybridization between Quercus affinis and Q. laurina (Fagaceae), two Mexican red oaks. Am. J. of Bot. 91(3):401-409.
Karp, A. and K.J. Edwards. 1995. Molecular Techniques in the analysis of the extent and distribution of genetic diversity. IPGRI, CGIAR. 1-12
Kompas, 29 Januari 2002; Purnomo tetap upayakan pertambangan di Hutan Lindung.
Kompas, 02 Juli 2003. Cacat hukum, izin penambangan di Kawasan Hutan Lindung.
Koch, M. and K-G. Bernhard. 2004. Comparative biogeography of the cytotypes of annual Microthlaspi perfoliatum (Brassicaceae) in Europe using isozymes and cpDNA data: refugia, diversity centers, and postglacial colonization. Am. J. of Bot., 91(1): 115-124.
Martin-Lopes, P., H. Zhang and R. Koebner. 2001. Detection of single nucleotide mutations in wheat using single strand conformation polymorphism gels. Plant Mol. Biol. Reporter 19:159-162.
Maideliza, T. and H. Okada. 2004. Evidence of reduction of gen flow between two cytotypes of Ranunculus silerifolius Lev. (Ranunculaceae) revealed with allozyme and intersimple sequence repeat polymorphisms. Plant Species Biology 19: 23-31.
Ouborg, N.J. and R. van Treuren, 1994. The significance of genetic erosion in the process of extinction. IV. Inbreeding load and heterosis in relation to population size in the mint Salvia pratensis. Evolution, 48(4): 996-1008.
Qian, W., S. Ge, and D-Y. Hong. 2001. Genetic variation within and among populations of a wild rice Oryza granulate from China detected by RAPD and ISSR markers.
Riesberg, L.H., S.M. Beckstrom-Sternberg, A. Liston, and D.M. Arias, 1991. Phylogenetic and systematic inferences from chloroplast DNA and isozyme variation in Helianthus sect. Helianthus (Asteraceae). Syst. Bot., 16(1): 50-76
Soltis, D.E. and P.S. Soltis, 2003. The Role of phylogenetics in comparative genetics. Plant Physiology, 132: 1790-1800.
Sudarmono. 2005. Konservasi tumbuhan dengan pendekatan genetik populasi. INOVASI 4(XVII):33-35.
Turner, M.W. 1996. Systematic study of the genus Brazoria (Lamiaceae), and Warnockia (Lamiaceae), a new genus from Texas. Pl. Syst. Evol., 203: 65-82.
Walker, J.B., K.J. Sytsma, J. Treutlein, and M. Wink, 2004. Salvia (Lamiaceae) is not monophyletic: implications for the systematics, radiation, and ecological specializations of Salvia and tribe Mentheae. Am. J. of Bot., 91(7): 1115-1125.
Watano, Y, A. Kanai, and N. Tani. 2004. Genetic structure of hybrid zones between Pinus pumila and P. parviflora var. pentaphylla (Pinaceae) revealed by molecular hybrid index analysis. Amer. J. of Bot. 91 (1): 65-72.
Watano, Y., M. Imazu and T. Shimizu. 1996. Spatial distribution of cpDNA and mtDNA haplotypes in a hybrid zone between Pinus pumila and P. parviflora var. pentaphylla (Pinaceae). J. Plant Res., 109: 403-408.
Wyatt, R and S.B. Broyles. 1992. Hybridization in North American Asclepias. III. Isozyme evidence. Systematic Botany: 17(4): 640-648.
Yatabe, Y., D. Darnaedi and N. Murakami. 2002. Allozyme analysis of cryptic species in the Asplenium nidus complex from West Java, Indonesia. J. Plant Res., 115: 483-490.

Profil penulis :
Sudarmono, Pusat Konservasi Tumbuhan Ex situ - Kebun Raya Bogor - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Program Doktor di Kebun Raya, Universitas Osaka City, Osaka, Jepang

ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.7/XVIII/Juni 2006 - INOVASI
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=176


2. Konservasi Tumbuhan dengan Pendekatan Genetik Populasi
Oleh : Sudarmono

Izin
Cetak
PDF

1. Pengertian Konservasi

Secara harfiah konservasi memang berasal dari bahasa Inggris namun diterjemahkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Th. 1999 sebagai pengawetan, yaitu suatu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah [2]. Hal penting adalah cara menafsirkan pengertian pengawetan atau konservasi yang banyak dipakai dari berbagai disiplin ilmu, misalnya pengawetan tanah dan air, konservasi flora dan fauna, konservasi alam, dll. Aspek botani atau flora lebih cenderung kepada usaha-usaha pelestarian yang bertujuan jangka panjang atau tidak terhingga (forever). Di Indonesia istilah konservasi merupakan hal yang sangat penting berkaitan dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat melimpah. Berdasarkan data World Bank [1], bahwa hutan Indonesia dari aspek keanekaragaman hayatinya menempati urutan ke 2 setelah hutan Amazon di Brazil. Apabila dilihat dari aspek lokasinya maka kondisi kepulauan yang ada di Indonesia sangat rentan terhadap proses perusakan. Selain itu proses pengawasan menghadapi kendala baik sumberdaya manusia, biaya maupun keamanannya. Pengawasan hanya dapat dilakukan secara efektif apabila melibatkan masyarakat disekitar lokasi konservasi. Meskipun kerusakan habitat tidak dapat dielakkan dan hal ini sebagai dampak dari pembangunan industri, pemukiman dan fasilitas umum. Pembukaan lahan pertanian atau perkebunan juga tidak dapat dihindari.

Dari aspek tersebut sebenarnya bagaimana kondisi konservasi tumbuhan di Indonesia?. Red Data Book atau buku mengenai daftar tumbuhan yang terancam kepunahan di Indonesia masih merupakan terbitan dari badan Dunia yang menangani aspek kelangkaan yaitu IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Penelitian tentang aspek penilaian tingkat kelangkaan secara kuantitatif di Indonesia masih belum ada data yang jelas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang mengarah pada aspek kuantitatif tingkat kepunahan di berbagai Jurnal Penelitian dalam negeri atau Internasional masih belum ada. Penafsiran kelangkaan masih bersifat estimasi, kualitatif atau penafsiran hanya dari aspek tidak terlihatnya atau sudah jarang ditemukannya jenis tumbuhan tertentu saja. Hal ini sangat lemah datanya mengingat tidak adanya tumbuhan tertentu di pulau Sumatra bukan berarti di pulau lain juga sudah tidak ada atau diartikan sebagai kelangkaan lokal, pengertian ini sangat semu. Untuk mengatasi hal tersebut banyak negara maju seperti di Jepang dengan kondisi alam (kepulauan) yang sama dengan Indonesia sudah lama menggunakan analisa genetik populasi. Hal ini tentu saja populasi dari beberapa lokasi acak di wilayah tertentu, antar pulau atau bahkan sebagai pembanding antar negara terdekat disekitarnya.

2. Genetik Populasi dan Implikasinya

Genetik populasi dapat diartikan sebagai aspek genotip dari suatu sekumpulan tumbuhan yang meliputi banyaknya kromosom, alel (bagian dari kromosom yang berperan dalam hal pembentukan warna, bulu, bentuk, dll), dan faktor-faktor keturunan yang diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya pada tumbuhan. Secara kuantitatif dapat dianalisa melalui penelitian molekuler atau penelitian yang memerlukan alat-alat laboratorium seperti Enzim elektroforesis (Isozyme) dan analisa DNA (Deoxyribonucleic acid atau deoxyribose nucleic acid yaitu asam nukleat yang mengandung informasi genetika). Unsur-unsur genetik umumnya terdapat pada daun muda. Oleh karena itu diperlukan pembuatan ekstrak daun, pemaparan jumlah alel atau jenis alel dengan bantuan arus listrik yaitu alat elektroforesis. Setelah itu pewarnaan alel sehingga terlihat jelas pada media agaros melalui perwarnaan dengan berbagai bahan kimia. Langkah selanjutnya dengan menggunakan formula tertentu seperti jumlah alel, persentase loci (banyaknya jenis-jenis kode protein), variasi genetik, struktur genetik, arus gen (gene flow), identitas genetik dan jarak genetik didalam populasi maupun antara populasi-populasi tersebut. Saat ini banyak program analisa kuantitas genetik yang tersedia gratis melaui internet. Faktor komputer sangat memegang peranan penting sehingga diperoleh hasil yang dapat dianalisa mengenai kondisi genetik suatu populasi tumbuhan. Begitu pula analisa dengan metode DNA yang memerlukan duplikat rantai DNA (primer) sehingga akan diketahui deret DNA suatu populasi tumbuhan dan ada tidaknya suatu perkawinan diantara tumbuhan pada populasi yang berbeda atau bahkan justru tidak adanya variasi genetik diantara populasi yang ada. Apabila terjadi pada kasus terakhir tadi dengan adanya homogenus pada kondisi genetiknya berimplikasi pada penyusutan populasi dan kecenderungan kearah kepunahan tumbuhan tersebut maka perlu adanya konservasi pada habitat populasi tersebut berada.

3. Interpretasi terhadap Analisa Data Genetik

Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang mengadopsi Teknik Analisa Genetik Populasi untuk melindungi habitat suatu tumbuhan yang terancam punah. Contohnya pada tumbuhan Psychotria nervosa (Rubiaceae) di Florida Selatan (Amerika Serikat). Pada tahun 1940 tumbuhan tersebut tidak diperhatikan dan habitatnya dijadikan sebagai usaha konsesi penebangan kayu dan pertanian. Setelah diserahkan ke Pemerintah Amerika maka lahan tersebut dihutankan kembali dan sejak tahun 1964 tumbuh lagi menjadi habitat namun setelah dianalisa struktur genetiknya ternyata tidak ada variasi genetiknya dan disimpulkan bahwa habitat jenis tumbuhan tersebut harus segera dilindungi [6]. Begitu juga kebijaksanaan Pemerintah Jepang dalam revisi mengenai Daftar Merah Jenis Tanaman di Jepang bekerjasama dengan Komite Spesies yang Terancam Kepunahan - Perhimpunan Taksonomi Tumbuhan (TST-JSPT) menilai terjadinya penurunan populasi pada spesies Magnolia (Magnolia tomentosa) dan Shimejitamuraso (Salvia isensis) [5]. Secara kebetulan untuk jenis Salvia isensis sedang kami teliti dan analisa melalui isozim hasilnya tidak ada variasi genetiknya sama sekali. Kesimpulan sementara bahwa terjadinya desakan populasi Salvia isensis sehingga hanya terdapat di puncak-puncak gunung oleh adanya isolasi iklim yang berkaitan dengan tidak adanya penyerbukan atau perkawinan antara populasi (data tidak dipublikasikan, 2004).

Meskipun potensi kelangkaan dapat diasosiasikan dengan tidak ada variasi genetik dan populasi yang kecil namun sebenarnya secara praktek masih belum jelas karena ukuran populasi efektif setiap jenis tumbuhan berbeda-beda. Hal ini seperti diungkapkan oleh [4] bahwa tanda-tanda suatu populasi mendekati kategori punah ditandai dengan pergantian faktor-faktor seperti ukuran populasi, derajat isolasi dan penyusutan. Ketika hal ini terjadi maka segera strategi manajemen untuk menanggulangi diterapkan. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran variasi genetik yaitu menurunnya variasi genetik didalam populasi itu sendiri. hal ini disebabkan karena hilangnya heterozygot (variasi gen) dan bahkan alelnya tetap atau terkunci. Faktor yang lain yaitu meningkatnya perbedaan genetik diantara populasi-populasi yang ada. Isolasi bisa saja sebagai faktor utama baik isolasi oleh jarak, geografi (gunung, sungai, pulau, dll), ekologi (kondisi tanah), reproduktif (tidak bisa kawin), dll. Apabila hal ini terjadi maka akan muncul jenis baru (spesiasi; berasal dari bahasa Latin: species dan dibahasa Inggriskan; speciation) yang mampu beradaptasi pada lingkungannya secara alami dan jangka panjang.

4. Prospek dan Kendala Genetika Populasi di Indonesia di Masa Mendatang

Indonesia terletak di daerah tropis yang bersuhu rata-rata minimum 22?C dan maksimum 34?C [3] atau kondisi panas yang menguntungkan bagi perkembangan penyerbuk tumbuhan atau polinator. Beberapa penyerbuk yang mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkawinan antar tumbuhan yaitu lebah, kupu-kupu, burung, dan serangga kecil yang lain. Proses penyerbukan dari satu tumbuhan ke tumbuhan lain memang terjadi secara tidak langsung yaitu saat lebah, kupu-kupu atau burung menghisap nektar bunga, maka serbuk sari melekat pada dinding perut atau dada atau bagian lain yang akhirnya hinggap pada tumbuhan sejenis ditempat lain dan serbuk sari yang terbawa melekat pada kepala putik tumbuhan tersebut, hingga terjadi perkawinan atau pembuahan didalam kandungan benihnya (ovul). Perkawinan silang tersebut menghasilkan variasi genetik dan dari variasi genetic ini akan berpengaruh terhadap morfologi atau bentuk fisik. Seperti misalnya terjadinya hybrid atau varitas atau spesies baru. Sebagai contoh adanya 37 varitas rambutan, beberapa spesies pisang hutan, durian, jambu-jambuan, dan lain-lain.
Penelitian genetik populasi dengan menggunakan teknik Isozim menggunakan peralatan yang relatif lebih murah dibanding peralatan dengan teknik DNA. Alat-alat tersebut antara lain alat elektroforesis dengan ukuran 40x45 cm persegi dapat dengan mudah dibuat dari bahan fiberglas begitu juga plat cetakan gel serta saker pewarna (staining shaker).

Faktor yang menjadi kendala bagi perkembangan bidang genetik populasi yaitu terbatasnya peneliti yang mempunyai keahlian dibidang genetik populasi, belum adanya universitas yang mengkhususkan di bidang genetik populasi, keterbatasan dana untuk membeli bahan kimia yang masih impor dengan harga sangat mahal, fasilitas pendukung lain yang sangat kurang seperti sarana listrik yang belum memadai, fasilitas komputer yang belum lengkap, referensi pustaka masih sangat kurang, dan kerjasama antar lembaga masih belum terkoordinasi. Untuk itu perlu adanya korporasi dibidang keahlian antara lembaga yang bergerak dibidang pendidikan (universitas dan perguruan tinggi) dan penelitian (LIPI, BPPT dan pusat-pusat penelitian Departemen Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Perindustrian. Sehingga kerjasama penelitian antara instansi dapat lebih maju dan sesuai penerapannya di masyarakat.

5. Kesimpulan

Sudah saatnya Indonesia yang kaya dengan keanekaragaman hayati memikirkan usaha konservasi hutan secara efektif. Perlindungan terhadap areal hutan tidak hanya wilayah sumber air atau hulu aliran sungai akan tetapi juga habitat alami dimana suatu populasi tumbuhan endemik atau tumbuhan yang terancam punah berada. Penggunaan teknik analisa genetik populasi dengan elektroforesis yaitu enzim atau protein elektroforesis dan analisa DNA mampu sebagai alternatif untuk memberi batasan konservasi tumbuhan yang terancam punah tersebut. Meskipun sedikit mahal akan tetapi apabila pelaksanaannya antar instansi atau pusat penelitian secara bersama-sama maka akan lebih efisien.

Daftar Pustaka

[1] Anonim. 1994. World Bank Development Report. World Bank, New York, AS.
[2] Anonim. 1999. PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa. ProFauna Indonesia Indonesia, Jakarta.
[3] Badan Meteorologi dan Geofisika. 1997. Pusat Data BMG. Jakarta.
[4] Ellstrand, N.C. dan D. R. Elam. 1993. Population Genetic Consequence of Small Population Size: Implications for Plant Conservation.Annu. Rev. Ecol. Syst. 24: 217-242.
[5] Matsuda, H., et al, 2003. Assessing the Impact of the Japanese 2005 World Exposition Project on Vascular Plants` Risk of Extenction. Chemosphere Vol. 53 (4) pp. 325-336.
[6] Sarah dan Heywood, 1988. Spatial Genetic Structure in a Population of Psychotria nervosa. I. Distribution of Genotypes. Evolution 42(4). pp. 834-838

http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=86

Thursday, February 1, 2007

BAHAN KULIAH

MORFOLOGI TUMBUHAN

PENDAHULUAN
Dari Wikipedia Indonesia


Daun
Daun merupakan salah satu organ tumbuhan yang tumbuh dari batang, umumnya berwarna hijau dan terutama berfungsi sebagai penangkap energi dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Daun merupakan organ terpenting bagi tumbuhan dalam melangsungkan hidupnya karena tumbuhan adalah organisme autotrof obligat, ia harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia.
Bentuk daun sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat, dengan variasi cuping menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstremnya bisa meruncing panjang.
Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri (misalnya pada kaktus), dan berakibat daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik. Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi menjadi organ penyimpan air.
Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil adalah senyawa pigmen yang berperan dalam menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya diambil dalam fotosintesis. Sebenarnya daun juga memiliki pigmen lain, misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil (berwarna kuning), dan antosianin (berwarna merah, biru, atau ungu, tergantung derajat keasaman). Daun tua kehilangan klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah (dapat dilihat dengan jelas pada daun yang gugur).
[sunting] Fungsi daun
• Tempat terjadinya fotosintesis.
• Sebagai organ pernapasan.
Di daun terdapat stomata yang befungsi sebagai organ respirasi (lihat keterangan di bawah pada Anatomi Daun).
• Tempat terjadinya transpirasi.
• Tempat terjadinya gutasi.
• Alat perkembangbiakkan vegetatif.
Misalnya pada tanaman cocor bebek (tunas daun).


Anatomi Daun

• Epidermis terbagi atas epidermis atas dan epidermis bawah. Epidermis berfungsi melindungi jaringan di bawahnya.
• Jaringan palisade atau jaringan tiang adalah jaringan yang berfungsi sebagai tempat terjadinya fotosintesis
• Jaringan spons atau jaringan bunga karang yang berongga. Jaringan ini berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan.
• Berkas pembuluh angkut yang terdiri dari xilem atau pembuluh kayu dan floem atau pembuluh tapis. Xilem berfungsi untuk mengangkut air dan garam-garaman yang diserap akar dari dalam tanah ke daun (untuk digunakan sebagai bahan fotosintesis). Sedangkan floem berfungsi untuk mengangkut hasil fotosintesis ke seluruh tubuh tumbuhan.
• Stoma (jamak: stomata) berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis. Kemudian stoma akan mengeluarkan O2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stoma terletak di epidermis bawah. Selain stoma, tumbuhan tingkat tinggi juga bernafas melalui lentisel yang terletak pada batang.

BATANG

Batang merupakan bagian dari tumbuhan yang amat penting, dan mengingat serta kedudukan batang bagi tubuh tumbuhan, batang dapat disamakan dengan sumbu tubuh tumbuhan. Pada umumnya batang mempunyai sifat-sifat berikut :
1. Umumnya berbentuk panjang bulat seperti silinder atau dapat pula mempunyai bentuk lain, akan tetapi selalu bersifat aktinomorf.
2. Terdiri atas ruas-ruas yang masing-masing dibatasi oleh buku-buku dan pada buku-buku inilah terdapat daun.
3. Biasanya tumbuh ke atas menuju cahaya atau matahari (bersifat fototrop atau heliotrop)
4. Selalu bertambah panjang di ujungnya, oleh sebab itu sering dikatakan, bahwa batang mempunyai pertumbuhan yang tidak terbatas.
5. Mengadakan percabangan dan selama hidupnya tumbuhan, tidak digugurkan, kecuali kadang-kadang cabang atau ranting yang kecil.
6. Umumnya tidak berwarna hijau, kecuali tumbuhan yang umurnya pendek, misalnya rumput dan waktu batang masih muda.

AKAR

Akar adalah bagian pokok di samping batang dan daun bagi tumbuhan yang tubuhnya telah merupakan kormus. Akar biasanya mempunyai sifat-sifat berikut:
1. merupakan bagian tumbuhan yang biasanya terdapat di dalam tanah, dengan arah tumbuh ke pusat bumi (geotrop) atau menuju ke air (hidrotrop), meninggalkan udara dan cahaya.
2. tidak berbuku-buku, jadi juga tidak beruas dan tidak mendukung daun-daun atau sisik-sisik maupun bagian-bagian lainya.
3. warna tidak hijau, biasanya keputih-putihan atau kekuning-kuningan.
4. tumbuh terus pada ujungnya, tetapi umumnya pertumbuhannya masih kalah jika dibanding dengan batang.
5. bentuknya seringkali meruncing, hingga lebih mudah untuk menembus tanah.
Akar bagi tumbuhan mempunyai tugas untuk:
1. memperkuat berdirinya tumbuhan.
2. untuk menyerap air dan zat-zat makanan yang terlarut di dalam air tersebut dari dalam tanah.
3. mengangkut air dan zat-zat makanan yang sudah diserap ke tempat-tempat pada tubuh tumbuhan yang memerlukan.
4. kadang-kadang sebagai tempat untuk penimbunan makanan.
Jenis akar
Secara umum, ada dua jenis akar yaitu:
1. Akar serabut. Akar ini umumnya terdapat pada tumbuhan monokotil. Walaupun terkadang, tumbuhan dikotil juga memilikinya (dengan catatan, tumbuhan dikotil tersebut dikembangbiakkan dengan cara cangkok, atau stek). Fungsi utama akar serabut adalah untuk memperkokoh berdirinya tumbuhan.
2. Akar tunggang. Akar ini umumnya terdapat pada tumbuhan dikotil. Fungsi utamanya adalah untuk menyimpan makanan.
Modifikasi akar
1. Akar napas. Akar naik ke atas tanah, khususnya ke atas air seperti pada genera Mangrove (Avicennia, Soneratia).
2. Akar gantung. Akar sepenuhnya berada di atas tanah. Akar gantung terdapat pada tumbuhan epifit Anggrek.
3. Akar banir. Akar ini banyak terdapat pada tumbuhan jenis tropik.
4. Akar penghisap. Akar ini terdapat pada tumbuhan jenis parasit seperti benalu.

ROSET

Roset adalah susunan daun yang melingkar dan rapat berimpitan. Menurut letaknya, ada dua macam roset yaitu:
1. Roset batang. Contoh: pohon kelapa.
2. Roset akar. Contoh: lobak.
Banyak tumbuhan di banyak suku yang memiliki roset; roset umumnya ditemui pada suku Asteraceae (contoh: dandelion) dan suku Brassicaceae (contoh: kol).